Sabtu, 27 Februari 2016

[Book Review] Bercinta Dalam Tahajjudku - Anshela



Judul              : Bercinta Dalam Tahajjudku
Penulis            : Anshela
Cetakan          : Pertama, Juli 2015
Tebal              : 184 hlm
Penerbit          : Diva Press
Kategori         : Novel
ISBN               : 978 – 602 – 279 – 159 – 1

Blurb:

“Terkadang cinta bisa membuat orang jadi gila. Mampu mengubah seseorang hingga melakukan sesuatu di luar kebiasaan.  Nggak jarang, cinta sangat menyiksa batin. Ketika nggak dijaga dengan baik, maka setan yang berkuasa. Cinta sudah jadi fitrah manusia. Jadi, kalau kamu cinta seseorang, sebaiknya karena Allah.”

Mencintai karena Allah? Kisi tak paham maksudnya. Awalnya, ia hanya gadis manja yang tidak pernah menyukai kajian keagamaan, lalu ikut rohis untuk keperluan majalah sekolah. Setelah tahu siapa yang mengampu kegiatan sekolah adalah Bangga as-Salam, ustadz muda bersuara lembut dan berwajah teduh, Kisi merasakan bahagia, juga kepedihan karena cinta. Namun, apakah cintanya benar karena Allah atau semata titisan nafsu?

***


“…hatimu seperti intan. Keras sekali. Untuk membuatnya berlubang meski setitik saja diperlukan ketelatenan pembuatnya. Seperti itu hatimu. Nggak akan bisa membuatnya berlubang kalau nggak karena kesadaran dan kemauan yang keras. Jangan sampai hatimu seperti itu selamanya! Kalau terus-terusan, seumur hidup kamu akan dihinggapi rasa benci dan dengki pada diri sendiri dan pada orang-orang di sekitarmu.”

Hlm. 138

Jika kamu bertemu dengan seorang gadis yang manja, cerewet, egois dan kurang baik dalam bertata krama, tidak salah lagi jika gadis itu bernama Kisi. Kisi sebenarnya adalah seorang gadis remaja pada umumnya. Namun, setiap sikapnya yang kadang menjengkelkan, membentuk ia menjadi pribadi yang jauh dari kesan sholeha. Jika berbicara tentang ilmu beragama, Kisi termasuk salah satu orang yang enggan membicarakan hal ini. Dia dibesarkan menjadi seorang gadis yang minim akan kajian agama dan sejenisnya. Bukan berarti di keluarganya tidak diajarkan agama, namun Kisi lah yang tidak mau untuk menerapkannya.

            Hari demi hari, kehidupan Kisi masih berjalan seperti biasa. Hingga pada akhirnya kabar itu datang dan mengubah semuanya menjadi gelap. Papanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kisi yang waktu itu tak memiliki firasat apapun, jelas sangat kaget. Ia bersama Mamanya tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menangis meratapi kepergian sang Papa. Saat itu, kehidupan sangatlah gelap dan kelam bagi Kisi.

“Ingat, kita ini ibarat musafir yang setelah berjalan jauh, maka harus istirahat. Nah, seperti itulah hidup. Kita hanya antre di depan pintu kematian. Suatu saat, kita semua pasti mati dan melewati pintu itu.”

Hlm. 35

            Namun, seiring berjalannya hari, berita tentang kematian Papa bisa mulai ia lupakan. Kini, Kisi tengah dibuat berbunga-bunga dengan kehidupan asmaranya. Adalah Mauricio Iglesias atau yang biasa dipanggil Mauris. Cowok bule dengan titel keren dan tampan di sekolah ini adalah adik kelas Kisi. Bukan tidak mungkin ini akan menjadi bahan perhatian tersendiri bagi Kisi. Semenjak beberapa hari terakhir, Kisi mulai menaruh hati pada cowok idamannya ini. Tak jarang, ia suka cari perhatian darinya dengan mengikutinya ke perpustakaan, berjalan di depan kelasnya, dan mengaji di masjid.

            Mengaji? Di masjid? Ya, semenjak mengetahui Mauris ikut mengaji di salah satu masjid dekat rumahnya, Kisi berinisiatif untuk ikut mengaji pula. Dengan ditemani Riris—sahabatnya—mereka berangkat ke masjid setiap sore. Riris sebenarnya tahu jika niat Kisi mengaji ke masjid bukan karena Allah, tapi karena Mauris. Tapi mau gimana lagi, temannya yang satu ini benar-benar telah dibutakan oleh cinta. Seiring berjalannya hari, kebimbangan mulai terjadi dalam hati Kisi. Di masjid, dia juga bertemu dengan seorang ustaz yang tak kalah tampan. Orang-orang memanggilnya Ustaz Bangga. Perhatian Kisi kini terbagi dua, Mauris dan Ustaz Bangga. Lantas, sebenarnya siapakah yang benar-benar Kisi harapkan?

            Mauris si cowok bule dengan wajah yang tampan dan cool…

            atau, Ustaz Bangga dengan senyumnya yang tulus dan rajin beribadah?

***

Well, ini adalah kali kedua aku membaca buku romance dengan balutan unsur religi. Setelah sebelumnya, aku sempat pula membaca buku dengan genre yang sama yaitu Engkau Cahaya Hatiku karangan Nia Sutardi. Ada rasa senang tersendiri bisa membaca cerita cinta namun juga dengan kajian ilmu agama di dalamnya. Rasa senang karena aku tidak hanya mendapat sisi manis dari segi romance-nya saja, tapi juga mendapat manfaat untuk bisa memaknai cinta dari segi agama pula. Pandangan cinta melalui segi agama menimbulkan persepsi tersendiri bagi pembaca. Cinta dari segi agama tidak terkesan berlebih dan ada batas-batasnya. Bukan berarti tidak begitu dieksplor, namun lewat segi agama kita bisa mendapat persepsi yang lebih positif dari ‘cinta’. Ini menjadi poin plus untuk novel ini.

Poin plus lain datang dari alur. Dengan menggunakan alur maju mundur, penulis membuka cerita dengan adegan di masa sekarang. Hingga kemudian flashback ke masa lalu, dan kembali lagi ke masa awal di lembar terakhir. Namun, di sini tetap saja ada yang ingin aku kritisi. Yaitu, adegan pembuka buku ini terlalu spoiler. Terlalu membeberkan adegan yang sebenarnya itu adalah bagian dari ending cerita. Yang cukup disayangkan di sini adalah karena penulis menyebutkan nama. Aku rasa akan lebih baik jika penulis menggunakan kata ganti ‘wanita itu, lelaki itu atau seseorang itu’. Biar timbul rasa penasaran di benak pembaca. Dengan menyebut nama seperti itu, pembaca bisa dengan mudah menebak ending ceritanya. Apalagi adegan yang disampaikan di pembuka ini juga merupakan bagian ending. Jadi kurang ‘surprise’ aja ke belakangnya.

Selain itu, pemberian karakter pada setiap tokoh juga cukup memikat. Terlebih Kisi, aku sering terlibat emosi dengannya karena perubahan emosinya yang terkesan tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi. Dengan sifatnya sebagai remaja yang cukup labil, mau tidak mau membuat kita mengikuti cara berpikirnya yang terkesan tidak masuk akal. Tapi aku rasa seru juga, Kisi merupakan sebuah bentuk interpretasi dari kebanyakan remaja jaman sekarang. Yang cukup membuatku salut di sini adalah penokohannya terbilang konsisten. Lagi-lagi pada Kisi, meski ia sudah berniat untuk mengubah sikapnya menjadi lebih baik, tapi sikap egois dan labilnya masih tetap ada. Tokoh Kisi di buku ini terbilang sangat khas, karakternya kuat sekali.

Seperti yang aku bilang di atas, meski beberapa adegan ending sudah terbocorkan di awal cerita, namun beberapa surprise juga tidak lepas dari buku ini. Terlebih saat terungkapnya siapa jati diri Mauris yang sebenarnya. Aku kira, dalam buku ini Kisi akan terlibat kisah percintaan dengan Mauris. Tapi rupanya keadaan justru berubah 180 derajat. Seketika, titel Mauris di mataku sudah tidak begitu berkesan lagi. Namun, aku rasa terungkapnya jati diri Mauris ini penempatannya kurang tepat. Menurutku akan lebih baik jika diletakkan di pertengahan atau menjelang ending cerita, jangan di awal. Karena, menuju pertengahan cerita, penulis justru menghilangkan tokoh Mauris ini. Padahal, kalau saja Mauris ini tetap ada sampai akhir cerita, pasti konflik yang dirasa akan lebih seru.

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, seharusnya membuat penulis untuk lebih leluasa bercerita lewat sudut pandang banyak tokoh. Tapi, aku rasa ini tidak terlalu dilakukan oleh penulis. Cukup disayangkan. Misalnya, pada saat kematian Papa Kisi, kronologis ceritanya tidak begitu dieksplor. Jadi, kurang masuk akal saja jika Papa Kisi tiba-tiba meninggal tanpa tahu lebih jelas seperti apa kronologisnya. Meski penulis sudah menyebutkan jika penyebabnya adalah kecelakaan, tapi menurutku akan lebih baik jika adegan kecelakaan itu juga turut diceritakan. Juga saat menjelang ending, pada adegan di mana Velly terbaring lemah di rumah sakit, kronologis ceritanya tidak diceritakan sama sekali. Akan lebih bagus jika penulis juga bercerita lewat sudut pandang Velly, tentang kesakitannya, tentang kesedihannya. Pasti feel nya akan lebih sampai ke hati pembaca.

But, overall, buku ini banyak memberi ilmu. Terutama untuk memaknai cinta dari segi agama. Kalian patut untuk mencobanya!

Terima kasih!

***

“Kesombongan akan kemampuan diri yang berlebihan telah membuat orang semakin tidak percaya akan adanya campur tangan Tuhan.”

Hlm. 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar