Selasa, 09 Februari 2016

[Book Review] Kei - Erni Aladjai





Judul               : Kei
Penulis            : Erni Aladjai
Tahun terbit    : 2013
Cetakan          : Pertama
Tebal               : x + 254 hlm
Penerbit          : GagasMedia
Kategori         : Novel
ISBN               : 979 - 780 - 649 – 9

Blurb :

Mari kuceritakan kisah sedih tentang kehilangan. Rasa sakit yang merupa serta perih yang menjejakkan duka. Namun, jangan terlalu bersedih, karena aku akan menceritakan pula tentang harapan. Tentang cinta yang tetap menyetia meski takdir hampir kehilangan pegangan.
Mari kuceritakan tentang orang-orang yang bertemu di bawah langit sewarna biru. Orang-orang yang memeilih marah, lalu saling menorehkan luka. Juga kisah orang-orang yang memilih berjalan bersisian, dengan tangan tetap saling memegang.
Mari, mari kuceritakan tentang marah, tentang sedih, tentang langit dan senja yang tak searah, juga tentang cinta yang selalu ada dalam tiap cerita.



***
“Dalam tempo 1999-2001, tercatat 9.700 korban tewas, 1000 orang cacat fisik, 17.000 perempuan menjadi janda, 15.000 orang menjadi penganggur, dan 321.473 terpaksa mengungsi akibat perang saudara di Maluku, selebihnya orang-orang menghilang.”

Namira Evav, adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah desa bernama Elaar, Kei Kecil di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Saat itu, tepatnya pada bulan Maret 1999, tengah berlangsung sebuah upacara adat yang berlangsung secara turun temurun. Upacara adat tersebut mereka sebut sebagai upacara ‘Tutup Sasi Laut’. Namira, yang saat itu bersama Mery—sahabatnya—turut serta memeriahkan upacara tersebut dengan menjadi salah satu penari Sosoy Swar Man-Vuun—tarian tradisional adat Kei. Upacara yang pada awalnya berlangsung khidmat dan meriah tersebut tiba-tiba berubah penuh ketegangan tatkala segerombolan pemuda datang dan mengabarkan bahwa dalam akan ada kerusuhan yang melanda daerah mereka.

Hingga, tibalah pada saat itu, semua warga saling berhamburan, suara teriakan berpadu dengan suara parang yang saling bertautan dan darah mulai bertumpah ruah. Saat itulah, tanah Kei mengalami kerusuhan. Namira yang kala itu baru saja pulang dari hutan, mendadak merasakan kaku pada seluruh tubuhnya. Pemandangan menakutkan yang ada di depan matanya membuat ia tak mampu bergerak sedikitpun, bahkan berucap sepatah kata pun. Namira tak menyangka, bahwa peristiwa itu adalah satu dari serentetan kisah yang amat menyedihkan baginya. Nasib Namira kian menyedihkan, ia hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat pengungsian lain bersama para pengungsi yang bernasib serupa dengannya. Sengsara. Bahkan, Namira pun tak tahu di mana keberadaan kedua orang tuanya kini. Kerusuhan itu telah merenggut harta terbesarnya, terutama Ayah dan Ibunya. Namun, di tengah kerusuhan yang melanda, pemuda itu datang ke kehidupan Namira. Dia adalah Sala, seorang pemuda dari Desa Watran yang secara tak sengaja bertemu dengan Namira di sebuah pengungsian. Pemuda yang memberi harapan masa depan yang cerah untuk Namira. Hingga keduanya saling jatuh cinta dan mengikat hubungan sebagai sepasang kekasih.

Namun, pepatah memang benar ‘semakin besar rasa cinta, semakin besar pula tragedinya’.

Lantas, tragedi apakah yang terjadi dalam putaran cinta Namira dan Sala?

Apakah cinta mereka turut lenyap bersama kerusuhan di tanah Kei?

***

“…hari itu juga ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menunggu satu lelaki. Satu lelaki yang telah membuat dadanya terus berdebar selama di Langgur. Satu lelaki yang membuatnya kesepian meski dia hanya pergi dua hari. Tanpa sadar Namira menggumamkan nama itu.”

Hlm. 191

Aku pertama kali mengenal—sekedar tahu aja—kak Erni Aladjai adalah ketika ia menjadi host untuk booktour ‘Rindu Yang Membawamu Pulang’. Dan Alhamdulillah aku terpilih menjadi pemenangnya, hehe. Selain itu, yang membuatku terkejut adalah ketika aku tahu kalau kak Erni Aladjai ternyata juga seorang penulis. Salah satu bukunya adalah #Kei ini. Sebelumnya aku juga ingin berterima kasih sama Kak Nana yang sudah menghadiahkan buku ini untukku lewat giveaway-nya kemarin, hehe. Hal pertama yang membuatku tertarik dengan buku ini adalah tagline-nya ‘kutemukan cinta di tengah perang’. Dari situ, aku mulai menyimpulkan kalau cerita di buku ini akan sangat menarik. 

Secara keseluruhan, buku ini bercerita tentang dua sisi, pertama tentang tragedi kerusuhan, dan yang kedua bercerita soal cinta. Ekspektasiku sangat tinggi ketika mengetahui cerita dengan tipe seperti ini, sudah lama menjadi incaranku. Pada awalnya, aku berasumsi jika buku ini akan menyajikan kedua cerita tersebut dengan porsi yang seimbang. Namun, aku rasa di sini penulis lebih banyak mempusatkan cerita kepada tragedi kerusuhan. Tidak masalah sebenarnya, namun menurutku akan lebih baik jika keduanya disajikan dengan porsi yang sama. Terlebih, saat kita tahu bahwa romance story sekarang sedang menjadi incaran banyak pembaca. Selain itu, sebenarnya buku ini bukanlah bacaan yang berat. Karena semua ceritanya disampaikan dengan diksi, dan kalimat yang mudah dicerna oleh otak. Juga karena banyak disertai footnotes yang membuat kita tidak sulit untuk memahami kata atau istilah asing di dalamnya. Hanya saja, menurutku yang membuat cerita di buku ini terbilang berat adalah karena dimasukannya banyak hal berbau politik ke dalamnya. Seperti kisruh lengsernya Presiden Soeharto hingga pada akhirnya berujung banyak kerusuhan 17 tahun lalu. Tidak banyak orang yang bisa mencerna dengan mudah apa dan seperti apa itu dunia kepolitikan.

Pada saat membaca buku ini sampai pertengahan, aku cenderung merasa bosan. Kisah cinta yang terjalin antara Namira dan Sala terkesan biasa dan kurang begitu dieksplor. Meski keduanya sepasang kekasih, namun beberapa adegan ‘manis’ yang seharusnya ditonjolkan, justru tidak banyak dilakukan oleh penulis. Hanya beberapa saja dan bisa dihitung. Adegan yang paling mewakili sisi romance-nya adalah ketika Sala melamar Namira dan menjanjikan sebuah masa depan yang indah sebagai sepasang suami istri. Menjelang ending, sisi romance itu terulang lagi lewat adegan ketika Sala menulis surat cinta untuk Namira, berkesan sekali. Terlebih saat kita tahu bahwa ending cerita ini sangat tidak terduga. Namun, tetap saja, aku kurang mendapat kepuasan dari segi romance-nya. 

Di balik beberapa kelemahan dari buku ini, ada baiknya kita membicarakan tentang kelebihannya. Cukup banyak, sehingga bisa membuat aku konsisten untuk membacanya sampai akhir. Yang pertama, tentang pengkarakteran. Sala adalah yang paling berkesan. Tipe cowok yang sangat tidak biasa. Dalam buku ini, Sala digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tangguh, pekerja keras, dan mempunyai pikiran yang tradisional. Sangat paham dengan segala bentuk adat dan hukum di Pulau Kei. Sehingga segala sesuatu yang ada di pikirannya pun tidak lepas dari ajaran para leluhur. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan kadar romance dalam buku ini tidak terlalu menonjol. Karena akan terlihat aneh jika seseorang yang berpikiran tradisional bisa melakukan banyak hal romantis layaknya Romeo. Bukan begitu? Oh iya, tadi aku sempat menyinggung jika karakter Sala adalah yang paling berkesan. Memang iya. Kenapa? Karena karakter tradisional Sala terbilang cukup spesifik dan mudah dikenali, sehingga bisa dengan mudah melekat di pikiran pembaca. Sala adalah yang cukup menonjol menurutku dari segi penokohan.

Selain itu, meski cerita dalam buku ini terbilang fiksi, namun ada pula cerita nyata di dalamnya. Adalah kerusuhan yang terjadi di Pulau Kei. Di sini, penulis banyak melakukan riset dan penelitian yang cukup akurat. Sehingga, segala sesuatunya pun terdefinisikan dengan detail dan jelas. Riset itulah pula yang menyebabkan unsur lokalitas di buku ini sangat kental. Seperti upacara adat ‘Tutup Sasi Laut’, tarian khas, makanan khas, dan kondisi di Pulai Kei yang digambarkan dengan baik oleh penulis lewat narasi atau pun dialog antar tokohnya. Jadi, sekarang bisa kita simpulkan bahwa Kei adalah novel penuh riset. Benar-benar usaha maksimal yang dilakukan oleh seorang penulis. Tak heran apabila Erni Aladjai bersama Kei-nya ini bisa menjadi Pemenang Unggulan DKJ 2012. Good job!

Perlu diketahui, bahwasanya buku ini juga mengangkat tinggi derajat kaum perempuan. Hal ini bisa kita lihat lewat beberapa adegan, dialog antar tokoh dan salah satu kutipan di dalamnya.

“Sebenar-benarnya lelaki adalah laki-laki yang marah karena melihat kehormatan perempuan dilecehkan, lelaki sembarangan tak akan berperang dan menumpahkan darah orang lain.” 

Hlm. 185 

Permainan alur yang dilakukan oleh penulis juga membuat aku suka. Cerita flashback memang sangat mengasyikan untukku. Karena seiring kita membuka lembar demi lembarnya, akan tersaji satu persatu elemen cerita yang melatar belakangi kejadian di masa sekarang. Semacam puzzle gitu, kita mengaitkan satu cerita dengan cerita lainnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal semacam ini pernah aku kemukakan di review Salon Tua milik Christina Juzwar sebelumnya. Selain itu, ada juga bumbu persahabatan yang tersaji di sini. Yaitu antara Namira dan Mery. Suka duka persahabatan mereka yang tersaji dalam buku ini memang salah satu porsi yang tepat untuk dimasukkan. Cukup bisa memberi kesan untuk pembaca.

Kei juga memberikan nilai persaudaraan antar umat beragama. Saling mengasihi, dan melengkapi. Intinya, semua orang Kei bersaudara, agama apa pun itu. Hal ini juga terdapat pada adegan ketika Namira menjalin hubungan baik dengan salah satu pengungsi beragama Protestan bernama Esme. Keduanya sama-sama memiliki hubungan baik sebagai orang Kei dan tak ingin ikut serta konflik antar umat beragama yang terjadi di daerah mereka.

Menjelang ending, seperti yang aku bilang di atas, memang sangat tidak terduga. Banyak hal atau peristiwa yang cukup membuatku terkejut. Salah satunya datang dari Sala. Pokoknya seru deh! Aku suka sekali. Saat menutup lembar terakhir buku ini pun aku masih sempat berpikir….

‘Bagaimana ya nasib Namira selanjutnya?’

Terima kasih!

***

“Kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.”

-Pepatah adat Pulau Kei-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar