Jumat, 05 Februari 2016

Kriiing Kriiing Penulis: Sangaji Munkian



Halo teman pemaca semua!

Uhuuy! Postingan pertama di bulan Februari. Bulan ini memang sangat sibuk sekali. Banyak sekali tugas sekolah yang harus diselesaikan, untuk membuat postingan ini saja harus curi-curi waktu dulu. Beberapa buku yang mestinya harus di-review terbengkalai begitu saja. Khawatir juga sebenarnya, soalnya beberapa buku itu sudah saya baca bulan lalu, hihi. Semoga saja nggak lupa sama ceritanya, *eh kok malah jadi curhat gini yak? Wkwkwk. Well, saatnya kembali fokus.

Pada postingan kali ini, aku ingin berbagi post tentang ‘Kriiing Kriiing Penulis’. Ada sedikit hasil bincang-bincangku via Line dengan salah satu penulis lokal. Penasaran, siapa? Hehe. Oh iya, ini adalah postingan ‘Kriiing Kriiing Penulis’ kedua di blogku. Setelah sebelumnya aku sempat pula melakukan interview bersama Mbak Nia Sutardi, tepatnya pada akhir bulan Desember lalu.Terus siapa sih penulis yang aku interview kali ini? Penulis yang telah berbaik hati meluangkan waktunya tersebut adalah Mas Sangaji Munkian—penulis novel Maneken. 

Sumber: Twitter @sangajimunkian

Kemarin, rasanya senang sekali bisa berkesempatan untuk berbincang santai dan berbagi pengalaman dengan Mas Sangaji. Meski ada beberapa kendala salah satunya adalah sama-sama ketiduran pas lagi interview, tapi tak apalah, hehe. Semoga obrolan singkatku dengan Mas Sangaji berikut bisa memberi manfaat atau pun motivasi untuk kalian semua.

Oke,

Selamat menyimak! 


1.      Kalau boleh tahu, passion menulis Mas Sangaji dimulai sejak kapan?

“Menulis telah resmi menjadi passion-ku sejak SMA. Saat itu, aku mulai menggilai bacaan fiksi seperti cerpen, puisi dan novel.
Bacaan fiksi sejatinya bersifat tidak mengendap setelah dibaca, tetapi bergema lalu menjelma kisah lain di pikiran yang mendesak untuk diceritakan. Dari situlah awal aku menulis. Terdorong dari hal sederhana bernama membaca. Yang awalnya berupa cerita pendek saja, bait-bait puisi yang lama-lama menovel, dan menulis pun teguh sebagai passion.”

2.      Dari situ, pernah tidak berpikiran bahwa ‘apa iya aku bisa nulis buku?’ Pasti akan kan yang namanya keraguan?

“Pasti dong.
Di awal akan muncul rasa tidak percaya pada diri sendiri, apalagi jika melihat jejeran buku orang yang numpuk, atau kawan/kenalan yang sudah bikin buku. Tetapi itu hal yang perlu disingkirkan dalam benak diri.
Sebab siapa lagi yang akan jadi yang pertama dan utama percaya pada kemampuan diri jika bukan diri kita sendiri? Maka bicaralah pada diri sendiri bahwa; jika dia bisa, kenapa aku tidak? Menulis buku itu adalah perkara kuantitas (akumulasi kalimat, paragraf) yang mana semuanya dimulai dari torehan satu kata, dua kata yang jadi kalimat dan seterusnya. Itulah yang membangun buku. Jadi, pada intinya, siapa pun kita modalnya sama, langkahnya sama, cuma yang membedakan adalah ikhtikad dan action buat nulis, plus bagaimana membasmi benalu ragu pada dirimu.

3.      Di samping kesibukan yang begitu padat, bagaimanakah cara Mas Sangaji membagi waktunya dengan menulis?

“Dengan cara membuat celah menulis.
Jika seharian beraktivitas, ya pas mau tidur, cukup 10 menit saja misalnya. Jika lelah seharian bikin mumet buat nulis kisah fiksi, maka tulis aja kisah pribadi. Yang penting nulis. Meski separagraf atau pun sekalimat saja.”

4.      Bagaimana cara Mas Sangaji menyikapi pembaca yang memberikan kritik terhadap buku, namun tidak bersifat membangun (hanya merendahkan saja) ?

“Sejatinya, tulisan apapun yang dicetuskan oleh kita, mau sebuah buku atau sebaris kalimat itu adalah bagian dari tubuh kita (anatomi lain yang hanya dipunyai penulis). Namun saat tulisan itu dikeluarkan, diposting, dipublish dan dibaca orang lain, maka itu bukan milik kita lagi. Anatomi itu sudah dimiliki orang lain, untuk diinterpretasikan melalui kesan, pengalaman dan opininya.
Kepemilikan atas hal tersebut adalah absolut, sehingga penulis tak bisa menggugat. Penulis cukup berterima kasih saja karena orang yang memebrikan interpretasi itu bersedia waktu tuk membaca tulisannya. Baik atau buruk, pujian atau cacian, pada intinya tetaplah berharga.”

5.      Di novel Maneken, tokoh utamanya adalah benda mati, dan menggunakan PoV 1. Otomatis, Mas Sangaji menulis dengan memposisikan diri sebagai benda mati pula. Lantas, adakah kesulitan?

“Kesulitannya adalah pada pembuatan kesan dan penggambaran karakter melalui PoV. Kesan di sini yaitu bagaimana menyampaikan narasi kepada pembaca secara wajar dalam sudut pandang benda mati yang notabene-nya minim pengetahuan tentang dunia luar, namun perlahan pengetahuan mereka harus berkembang.
Penggambaran karakter dalam benda mati yaitu bagaimana menunjukkan kekuatan karakter melalui PoV tersebut. Untunglah dari awal aku sudah membuat patokan tegas, bahwa PoV benda mati Claudia adalah maneken yang menggebu-gebu dan mudah terbalas emosi/perasaan (baper), sementara PoV benda mati Fereli adalah kalem dan gentleman.
Selebihnya membuat PoV melalui benda mati amat sangat menyenangkan. Kita seakan benar-benar menjadi benda mati tersebut.”

6.      Sebenarnya, apa tujuan Mas Sangaji mengusung maneken sebagai konsep ceritanya?

“Tujuannya sederhana saja, aku ingin menulis sesuatu yang aku tulis. Adapun konsep maneken itu berasal dari ‘imajinasi liar’ ketika berjalan ke pertokoan baju/butik. Di sana selalu ada maneken-maneken yang dipajang, nah imajinasi liar bekerja, bagaimana jika boneka peraga itu sebetulnya punya pikiran, punya kehidupan sendiri, dapat berkomunikasi antar boneka. Hanya saja kita terlalu sibuk dan terlalu tak memercayai hal tersebut.
Kemudian melalui meneken pun aku ingin mengisahkan sesuatu dari sudut pandang istimewa, sudut padang yang tak biasa. Maneken sebagai benda mati, mempunyai karakteristik seperti manusia yang sangat menggiurkan untuk dikisahkan.”

7.      Dalam penulisan Maneken, butuh waktu berapa lama dan berapa kali revisi?

“Aku punya catatan waktu, yakni dari tanggal 16 Juli 2013 – 30 Oktober 2013. Mengenai revisi, tidak terlalu banyak. Kalau tidak salah revisi satu untuk pengembangan plot, bab dan karakter, revisi kedua untuk memutuskan nasib Sophie, dan terakhir untuk memoles bagian yang cocok dan tidak cocok dimasukkan, seperti ritual ‘memanusiakan Fereli’ misalnya.”

8.      Yang terakhir, selain sibuk dengan pelatihan kerja dsb, adakah sebuah buku yang tengah dipersiapkan? Boleh kali kasih bocoran, hehe :)

“Aku punya beberapa naskah yang siap setor ke penerbit. Tahun ini ada 2 naskah yang aku pinang ke dua penerbit mayo, lampunya bisa dikatakan hijau (doakan saja) semoga tahun ini dua duanya bisa terbit.
Dua naskah itu temanya fantasi dengan bubuhan romance. Sepertinya aku menemukan genre pribadi. Sebetulnya memberikan bocoran seperti ini akan membuat naskahku kurang surprise, tapi berhubung Mas Bintang Ach dan para pembaca ini kece, aku kasih deh. Hehe
Pertama, judulnya adalah ‘M A J A V A’ ; Hati hati dengan keinginan yang kau imbuh. Dahulu kala ada orang yang menyaksikan keindahan bintang jatuh. Tetapi justru bintang jatuh itulah memusnahkan dirinya hingga luruh tak bersisa bersama orang lain yang tak berdosa. Orang –orang yang bernasib pahit.
Kedua judulnya ‘A T M A G A R I’ ; Bagaimana jika di dalam dirimu tidak hanya ada dirimu. Maksudku di dalam raga tubuhmu bukan Cuma dirimu yang berjelaga. Ada yang lain, sesuatu yang lain yang turut menempati dan bercokol di sana. Aku merasa eksistensiku Cuma seonggok pelana yang ditunggangi oleh seorang pengelana. Dan dia mengaku diriku. Dia yang terbelenggu.
*Judul bisa saja berubah, dan kedua buku ini masih dalam tahap konfirmasi lanjutan ya gaes. Belum seratus persen fix!

Nah, itu tadi adalah bincang-bincang singkatku dengan Mas Sangaji.

Bagaimana? Memotivasi sekali ya, aku paling suka dengan kutipan ini “Sejatinya, tulisan apapun yang dicetuskan oleh kita, mau sebuah buku atau sebaris kalimat itu adalah bagian dari tubuh kita (anatomi lain yang hanya dipunyai penulis). Namun saat tulisan itu dikeluarkan, diposting, dipublish dan dibaca orang lain, maka itu bukan milik kita lagi. Anatomi itu sudah dimiliki orang lain, untuk diinterpretasikan melalui kesan, pengalaman dan opininya.”

Setuju sekali dengan kutipan dari Mas Sangaji di atas, pada dasarnya tulisan adalah kepemilikan. Sehingga, saat tulisan itu berpindah dari satu tangan ke tangan lain, maka mereka yang membaca tulisan itulah yang berhak memilikinya. Siapa pun itu. Oh iya, di atas tadi kami sempat pula menyinggung tentang salah satu novel tulisan Mas Sangaji, yaitu Maneken. Bagi kalian yang penasaran dengan novelnya, segera beli ya. Ceritanya menarik, kalian akan diajak melihat kehidupan dari sisi yang berbeda, sisi yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Tapi, jika kalian masih ragu untuk beli, bisa baca review Maneken di blogku ini dulu, klik disini ya.

Oh iya gaes, bagi kalian yang ingin berbincang langsung atau sekadar berbagi pengalaman dengan Mas Sangaji sama sepertiku, caranya mudah kok. Mas Sangaji Munkian bisa kalian sapa lewat email-nya di: sjmunkian@gmail.com , atau bisa juga di IG / Path / Twitter / Fb / Tumblr / Goodreads dengan username yang sama: sjmunkian.

Terima kasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar