Kamis, 28 Juli 2016

[Book Review] Love In Edinburgh - Indah Hanaco



Judul : Love in Edinburgh
Penulis : Indah Hanaco
Tahun terbit : 2015
Tebal : 232 hlm
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kategori : Novel
ISBN : 978 – 602 – 03 – 2534 – 7 


Blurb:

Katya adalah karyawati toko kue di Edinburgh yang aktif sebagai relawan di beberapa badan amal. Sementara Sebastian adalah pemilik perusahaan parfum yang sedang menyiapkan masa depan bersama kekasihnya.

Lewat sebuah reality show berjudul Underground Magnate, keduanya bertemu. Sejak awal, mereka punya banyak perbedaan. Katya, muslimah yang menemukan Tuhan justru saat berada jauh dari kota kelahirannya, Jakarta. Sebastian, pria Yahudi yang cenderung memnjadi islamophobia usai ibunya menjadi salah satu korban runtuhnya gedung WTC. Namun, ada terlalu banyak hal tak terduga yang terjadi. Reaksi kimia di antara mereka terlalu kuat untuk diabaikan.

Ketika akhirnya Katya dan Sebastian punya kans untuk bersama, dosa masa lalu menghantui keduanya, menuntut penyelesaian. Bisakah cinta membuat mereka tetap bertahan?

***

“Saat ini orang bisa melakukan kejahatan yang sulit dibayangkan mampu dilakukan oleh manusia. Tapi, satu hal yang pasti, orang yang takut pada murka Tuhan, yang menjalani agamanya sebaik yang dia mampu, takkan sanggup menjahati orang lain.”
Hlm. 89

“…jangan pernah menikahi orang yang berani memukulmu. Jika dia sudah melakukannya sekali, apa jaminannya dia tidak mengulangi hingga keseribu kali? Jenis kelamin tidak ada hubungannya dengan pelaku kekerasan fisik.”
Hlm. 124

Edinburgh adalah sebuah kota indah yang selalu khas dengan arsitektur kastelnya yang menawan. Sebuah kota yang cukup besar di daratan Skotlandia ini menjadi tempat persembunyian Katya selama kurang lebih dua tahun ini. Kenangan pahit di masa lalu membuatnya beranjak meninggalkan Tanah Air dan memilih untuk menepi di Kota Seribu Kastel ini.

Katya mendedikasikan sepenuh waktu di Edinburgh dengan bekerja dan ikut di berbagai organisasi/badan amal. Dulu, semenjak bertemu dengan Evelyn di pesawat dalam penerbangan menuju Edinburgh, hidup Katya menjadi semakin terjamin. Dia dipekerjakan sebagai karyawati di toko kue Evelyn—Sister Eve—dan turut membantu di badan amal yang Evelyn dan suaminya dirikan—We Are Family—sebuah badan yang selalu menyediakan sarapan bagi kaum tunawisma setiap hari. Tidak hanya itu, sore harinya Katya juga harus mengisi kelas di Solitude, kemudian mendengarkan kisah sedih para perempuan malang sama sepertinya di Good Karma pada akhir pekan.

Hingga akhirnya, hari itu Sister Eve kedatangan seseorang bersama kedua orang temannya. Mereka memperkenalkan diri sebagai kelompok pembuat film dokumenter dan ingin mengetahui tentang aktivitas badan amal di kota tersebut. Sebastian MacCalum—begitulah pria itu memperkenalkan diri kepada Evelyn—mulai bercakap dengan Katya yang rupanya lebih tahu banyak tentang badan amal di sana. Keputusan pun diambil, bersama dengan Katya, Sebastian mulai mengunjungi satu persatu badan amal. Mulai dari We Are Family, Solitude, hingga Good Karma. Kedekatan antara Katya dan Sebastian pun mulai terjalin. Keduanya kerap menghabiskan waktu bersama dan bertukar cerita hidup. Namun, terungkapnya identitas Katya yang sesungguhnya secara tidak sengaja sempat membuat Sebastian shock, tapi baiknya ia bisa dengan cepat menerima hal itu. Begitu pula dengan Katya, ia bisa menerima dengan baik pula ketika mengetahui siapa identitas Sebastian yang sebenarnya.

Namun, di saat benih-benih cinta mulai tersemai di antara hati keduanya, kenyamanan pun mulai terjalin ketika mereka bersama, Katya dihadapkan dengan satu permasalahan besar. Permasalahan yang memungkinan ia akan kehilangan Sebastian, dan mungkin juga… kehilangan cintanya.

Lantas, adakah harapan yang dimiliki Katya untuk mendapatkan cinta Sebastian?

Ataukah mungkin cinta itu turut larut terbawa permasalahan?

***

“Beribadah itu mengingatkan bahwa aku cuma manusia biasa yang punya banyak kelemahan. Aku tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin-Nya. Kesuksesan itu tidak datang dari kerja keras belaka. Andil Tuhan jauh lebih besar, cuma manusia kadang mengabaikannya.”
Hlm. 130 – 131

Indah Hanaco merupakan salah satu penulis yang karyanya selalu mengundang rasa penasaranku. Alasan terbesarnya adalah karena penulis yang satu ini terkenal sangat produktif dalam mencetak karya di bidang sastra. Jika ditanya soal jam terbang, mungkin memang sudah tidak diragukan lagi, puluhan buku yang sudah ditulis Kak Indah membuatku yakin akan kualitas menulis yang dimilikinya. Pernyataan tersebut bisa kita lihat lewat salah satu bukunya yang berjudul Love in Edinburgh ini. Buku dengan tampilan pinky-nya yang manis ini merupakan salah satu buku yang termasuk ke dalam seri Around The World With Love batch 1. Lantas, apakah cerita dalam buku ini juga akan semanis sampulnya? Let’s see!

Buang jauh-jauh dulu bayanganmu tentang kisah cinta yang ada dalam buku ini, ada hal yang lebih menarik yang bisa kita dapatkan. Pertama, alangkah beruntungnya jika kamu adalah seorang pengagum daratan Edinburgh. Karena lewat buku ini, Kak Indah Hanaco akan membawa kita menelusuri setiap sudut kota yang identik dengan bangunan kastelnya ini. Segala tempat, latar, dan suasana tergambarkan dengan cukup baik lewat  tangan si penulis. Narasinya yang juga cukup informatif menjadi alternatif tersendiri bagi pembaca untuk memahami apa saja tentang Kota Seribu Kastel ini. Kemungkinan kita akan kecewa dengan latar yang diangkat penulis sangatlah kecil, karena Edinburgh benar-benar dikemas semanis mungkin dengan ikut memunculkan beragam sikap toleran pada setiap warganya.

Berbicara mengenai ceritanya, adalah hal baru dan menarik untukku saat penulis menyinggung permasalahan mengenai islamophobia. Aku kurang begitu tahu, apakah islamophobia ini bisa dikategorikan ke dalam gangguan psikologis atau tidak. Yang jelas, phobia yang satu ini, menjadi bahan obrolan menarik tersendiri di buku ini. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya kita juga tidak bisa menyalahkan mereka yang cenderung menjadi islamophobia tersebut. Tapi rasanya, kita yang sebagai orang Islam, seakan merasa tersinggung karena kita berpikir  ‘seburuk itukah agama kita di mata mereka?’ Sisi baiknya, buku ini juga membuatku tahu tentang apa itu islamophobia.

Selain memberi sisi informatif mengenai Edinburgh dan islamophobia, lewat buku Indah Hanaco ini aku juga bisa menambah kosakata baru. Awalnya aku sempat mengira itu adalah typo, karena aku belum pernah mendengar atau membaca kata itu sekali pun: menghidu. Ya, menghidu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menghidu rupanya memiliki arti mencium (bau); membaui. Sungguh menyenangkan bukan bisa menambah daftar kosakata? Itulah, selalu ada banyak hal yang bisa kita dapat dari membaca. Oh iya, selain itu, penulis juga turut memasukkan sedikit unsur kekerasan terhadap pasangan. Sekilas mengingatkanku dengan Perfect Pain. Dan ternyata memang benar, apa yang dibahas di kedua buku ini sama. Seperti korban kekerasan yang selalu kembali ke pasangan mereka meski selalu dianiaya, atau pun si pelaku yang selalu bertindak plin-plan—menyakit, minta maaf, begitu seterusnya.  

Pekerjaan tokohnya di sini juga tergambarkan dengan sangat baik. Seperti halnya Sebastian yang digambarkan sebagai pemilik perusahaan parfum ternama. Beberapa adegan kerja yang turut diselipkan penulis benar-benar menggambarkan seperti apa pekerjaan yang dilakoni Sebastian. Seperti peracikan aroma parfum, pemilihan nama parfum, sampai komponen-komponen penting di dalam parfum turut melengkapi buku ini. Kemudian Katya, di buku ini penulis cukup baik menggambarkan bagaimana ia ikut kerja serabutan di toko kue, dan yang paling detil adalah tentang kegiatan dia di badan amal. Salah satu yang memikat menurutku ketika di Solitude. Aku benar-benar menemukan sosok Katya sebagai perempuan hebat ketika di sana.

Kemudian, sisi baiknya, buku ini tidak hanya berisi kisah cinta yang flat, yang memiliki akhir yang mudah ditebak. Pada saat menjelang ending, aku hampir saja dibuat kecewa karena sudah sepenuhnya yakin kalau ending-nya tidak akan sesuai ekspektasiku. Sebelumnya, penulis banyak menyisipkan twist dan surprise tak terduga yang membuat jalan cerita semakin seru untuk diikuti. Begitu pula saat menjelang ending, satu twist yang hampir saja mematahkan harapanku rupanya salah besar. Kak Indah Hanaco sudah meracik cerita sedemikian cantiknya. Sehingga saat menutup lembar terakhir buku ini pun aku tak perlu lagi mengkhawatirkan twist di awal tadi dan tidak ada yang perlu aku kecewakan. Bahkan, ending ceritanya bisa dibilang melebihi ekspektasiku.

Selain cerita cintanya yang manis, buku ini juga menyimpan banyak pelajaran. Beberapa yang bisa kita ambil dan pelajari:

1.       Sikap toleransi dan menghargai antar umat beragama. Ada satu part yang membuatku terharu: saat Evelyn  memberikan hadiah mukena kepada Katya. Lihatlah, mereka yang non muslim begitu menghargai keberadaan seorang muslim yang terbilang sangat minoritas di sana. Coba lihat di negara kita, penduduknya yang mayoritas muslim saja kadang sikap tolerannya masih kurang. Meski minoritas, kaum Muslim begitu dihargai dan mendapat tempat di Edinburgh. Dan lewat itu pula, Katya mulai mendapat kesadaran beragamanya selama ini. Ia mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi. Benar-benar keputusan yang baik, semoga juga ikut memengaruhinya pembacanya.

2.       Mendorong seseorang untuk memiliki jiwa kemanusiaan. Lewat perjalanan hidup Katya di We Are Family, Solitude, dan Good Karma, sangat mengajarkan kita bahwa hidup yang amat singkat ini sangatlah berharga jika kita dedikasikan demi kebaikan dan kelangsungan hidup orang lain. Memberi makan kepada orang tunawisma, menyampaikan ilmu kepada generasi muda, dan menolong mereka yang memiliki masalah atau kesusahan. Semoga suatu saat kita bisa menjadi Katya-Katya yang selanjutnya.

3.       Jangan menyakiti pasanganmu. Lewat kejadian yang dialami Katya di masa lalunya, kita bisa belajar tentang mengasihi pasangan. Betapa pasangan memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan hidup kita, betapa mereka membutuhkan kasih sayang kita, betapa mereka sangat mencintai kita seburuk atau sekejam apa pun kita. Seharusnya kita sadar, pasangan ada untuk disayangi, bukan disakiti. Semoga tidak ada lagi Frans-Frangs lain di bumi ini.

Meski begitu, buku ini tidak lepas juga dari kesalahan. Terdapat kesalahan penulisan, yaitu pada halaman 157 pada kalimat:

‘Judy juga mengingatkanku pada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa ditunda.’

Kita fokus pada kata yang bercetak tebal—mengingatkanku. Pertama, buku ini menggunakan PoV3. Dan kalimat di atas merupakan bagian dari narasi, bukan dialog. Lantas, kenapa ada kata ganti –ku? Siapa –ku di sini? Kalau misal dalam dialog, ya tidak salah. Atau, meski narasi, tapi kalau memakai PoV1, ya benar-benar saja. Tapi yang ini, ada pada narasi dan memakai PoV3, jadi bukankah salah? Jika dikoreksi, maka kalimat seharusnya yang benar adalah: ‘Judy juga mengingatkan Sebastian pada beberapa pertemuan penting yang tidak bisa ditunda.’ I hope like that :D

Nah, itu tadi adalah review singkat dariku untuk Love in Edinburgh karangan Indah Hanaco. Jika kalian mencari bacaan menarik, romantis, dengan sentuhan islami, atau yang ingin mengenal lebih jauh tentang seluk beluk Kota Edinburgh, maka kalian wajib untuk membaca buku ini. Dijamin, selain bisa mendapat tiga keuntungan tadi, kalian juga akan mendapat pelajaran berharga.

4 Jempol untuk si Juragan Minyak Wangi…


Terima kasih!

***

“Jadi, kalian tidak perlu cemas kalau aku akan mencelakainya. Aku bukan si antagonis. Meski aku tidak tahu seperti apa nantinya, aku cuma ingin Kat bahagia.”

-Sebastian-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar